Powered By Blogger

Minggu, 13 Maret 2016

Operasional Pendamping Desa Berasal Dari APBN Mulai Tahun Depan


TAROWANG - Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) dituding mengajukan pinjaman kepada bank dunia untuk membiayai tenaga pendamping desa.

Hal tersebut ditampik secara tegas pihak internal kementerian. Pihak kementerian sudah dijanjikan akan mendapat alokasi APBN oleh Kemenkeu untuk operasional tenaga pendamping desa. 

Direktur Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (Dirjen PPMD) Kemendes PDTT Ahmad Erani Yustika mengatakan, rumor yang beredar di publik selama ini tidak benar. 

Menurutnya, penggunaan dana bank dunia untuk pendamping desa saat ini diputuskan kementerian keuangan. Hal itu karena masih terdapat dana sisa dari program PNPM Mandiri Pedesaan era Presiden SBY. 

"Mana mungkin kami mengajukan. Pinjaman ke bank dunia itu wewenang dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu)," kata Erani di Jakarta kemarin (12/3). 

Hanya saja, menurutnya, sampai tahun ini dana operasional pendamping desa memang menggunakan dana sisa PNPM Pedesaan yang merupakan pinjaman dari Bank Dunia. Dana itu dialokasikan Kemenkeu ke pendamping desa karena pinjaman tersebut khusus untuk keperluan desa. 

Sikap Kemendes PDTT, bahkan cukup tegas terkait penolakan penggunaan dana luar negeri. Dia pun sudah mendapatkan jaminan dari Kemenkeu terkait alokasi operasional pendamping desa dari APBN. Dana tersebut nantinya disalurkan dengan mekanisme Kemendes PDTT.

"Jadi, penggunaan dana sisa PNPM hanya akan berlangsung hingga tahun ini. Setelah itu, kami akan menggunakan dana dari APBN. Soal apakah sumber APBN itu dari luar negeri, itu adalah kewenangan dari Kemenkeu," tegasnya.

Terkait besaran alokasi, pihaknya mengaku masih mendiskusikan hal tersebut dengan Kemenkeu sebagai pengatur anggaran. Hal itu karena masih belum menyepakati soal jumlah pendamping yang dibutuhkan.

Usulan awal kementerian untuk menempatkan satu pendamping satu desa pun ditolak karena dinilai terlalu membebani. Dalam usulan disebutkan satu desa satu pendamping dibutuhkan Rp 2,6 triliun per tahun. Tapi, usulan itu dinilai terlalu membebani.

"Sehingga, kami sedang mempertimbangkan opsi untuk menurunkan rasio menjadi satu pendamping dua desa atau menerapkan kluster yang ditangani pendamping desa,'' ungkap Erani. 

Sebagai informasi, saat ini terdapat 34 ribu pendamping desa aktif di lapangan. Itu terdiri dari 12.400 ribu itu tenaga ahli di level kabupaten; 6 ribu pendamping desa di level kecematan 17 ribu pendamping lokal desa di level desa. Dengan SDM saat ini, rasio penanganan mencapai satu pendamping untuk empat desa.



Sumber: sapa.or.id




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diharapkan agar berkomentar dengan baik, santun sesuai etika komunikasi.