Powered By Blogger

Kamis, 28 Januari 2016

Pelatihan Tim Penyusun RPJMDes di Kecamatan Tarowang

TAROWANG - Dalam rangka penyusunan RPJM Desa (RPJMDes) sebagai dokumen perencanaan induk yang resmi bagi Desa, maka dipandang perlunya pembentukan Tim Penyusun RPJMDes sebagai langkah awal dalam alur tahapan penyusunan RPJMDes sebagaimana disebutkan dalam permendagri no.114/2014 tentang pedoman pembangunan Desa pasal 30 ayat 2, sebagai berikut:
  1. Pembentukan Tim Penyusun RPJMDes;
  2. Penyelarasan arah kebijakan perencanaan pembangunan kabupaten/kota;
  3. Pengkajian Keadaan Desa;
  4. Penyusunan rencana pembangunan Desa melalui musyawarah Desa;
  5. Penyusunan rancangan RPJMDes;
  6. Penyusunan rencana pembangunan Desa melalui musyawarah perencanaan pembangunan Desa; dan
  7. Penetapan RPJMDes.
Sambutan dari Perwakilan Kepala Desa
oleh Kades Balang Baru Bapak Darman
Tim Penyusun RPJMDes yang idealnya dibentuk dalam suatu musyawarah Desa (musdes) Sosialisasi terkait rencana penyusunan RPJMDes dimaksudkan tercapainya pembentukan Tim Penyusun secara partisipatif sekaligus bertujuan sebagai upaya pemerintah Desa untuk menyampaikan informasi, pemahaman dan adanya respon balik masyarakat tentang rencana penyusunan RPJMDes, sehingga diharapkan tercapainya tujuan dokumen perencanaan Desa yang dibuat secara demokratis, transparan, partisipatif dan akuntabel.

Sambutan Camat sekaligus membuka pelatihan secara resmi
oleh Camat Tarowang Bapak Sakhrul, S. Hi
Pembentukan Tim penyusun RPJMDes dilakukan oleh Kepala Desa dan ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa. Tim penyusun yang berjumlah paling sedikit 7 orang dan paling banyak 11 orang harus mengikutsertakan kaum perempuan. Unsur susunan Tim Penyusun RPJMDes telah diatur dalam permendagri no.114/2014 tentang pedoman pembanguan Desa, yang terdiri dari:
  1. Kepala Desa selaku Pembina;
  2. Sekretaris Desa selaku Ketua;
  3. Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat selaku Sekretaris; dan
  4. Anggota yang berasal dari Perangkat Desa, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat, Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa dan unsur masyarakat lainnya.
Sambutan dari Tenaga Ahli Pelayanan Dasar
oleh Bapak Muhammad Nurfajri (Juju)
Setelah terbentuknya Tim Penyusun RPJMDes sebaiknya agar diberikan pembekalan tentang pemahaman terkait dokumen perencanaan pembangunan Desa khususnya proses-proses yang harus dilaksanakan dalam rangka penyusunan RPJMDes yang baik dan sesuai regulasi yang berlaku. Penguatan kapasitas Tim Penyusun RPJMDes melalui sebuah pelatihan diharapkan agar Tim Penyusun memiliki kemampuan dan keterampilan dalam memfasilitasi penggalian gagasan masyarakat secara partisiparif. 

Di samping itu, tentunya sangat diharapkan Tim Penyusun RPJMDes mampu secara mandiri melakukan perencanaan partisipatif di tingkat Desa melalui kegiatan-kegiatan sebagaimana disebutkan dalam permendagri no.114/2014 tentang pedoman pembangunan Desa pasal 9, sebagai berikut:
  1. Penyelarasan arah kebijakan pembangunan kabupaten/kota;
  2. Pengkajian Keadaan Desa;
  3. Penyusunan rancangan RPJMDes; dan
  4. Penyempurnaan rancangan RPJMDes.
Muatan materi yang diberikan dalam rangka penguatan kapasitas Tim Penyusun RPJMDes sangat menentukan kualitas kinerjanya saat melaksanakan tugasnya. Sehingga metode yang digunakan tidak semata memberikan materi ceramah tapi juga diperlukan adanya tanya jawab, diskusi kelompok dan simulasi. 
Materi dibawakan Tenaga Ahli Infrastruktur Desa
Oleh Bapak Bustam Bachtiar
Sebagai contoh, dalam pelatihan Tim Penyusun RPJMDes di Kecamatan Tarowang yang berlangsung pada hari Kamis tanggal 28 Januari 2016 dilaksanakan dengan sistem region berdasarkan Desa yang memiliki Kepala Desa Baru dan Desa yang memiliki kepala Desa lama untuk mengefektifkan dan mengefisienkan pelaksanaan. Untuk region I merupakan Desa yang memiliki pemimpin baru karena baru melaksanakan pemilihan Kepala Desa secara serentak adalah Desa Bontorappo, Desa Pao, Desa Allu Tarowang dan Desa Balang Baru. Materi yang diberikan dan didiskusikan dalam pelatihan tersebut, antara lain:
  1. Pembentukan dan Peranan Tim Penyusunan RPJMDes;
  2. Alur tahapan Penyusunan RPJMDes;
  3. Sistematika RPJMDes;
  4. Dokumen Perencanaan Pembangunan Desa;
  5. Simulasi pengkajian keadaan Desa dalam penggalian gagasan masyarakat melalui musyawarah dusun/kelompok dengan menggunakan 3 alat kaji atau instrumen, yaitu:
  • Sketsa Peta Desa;
  • Kalender Musim; dan
  • Diagram Kelembagaan.
Simulasi dipandu Tenaga Ahli Pembangunan Partisipatif
oleh Ibu Engelbertha Andit selaku Penanggungjawab RPJMDes
Dalam simulasi tersebut peserta pelatihan diajak menggambarkan kondisi objektif Desanya sesuai kondisi terkini, sehingga akan di dapatkan data Desa, potensi dan masalah yang dihadapi Desa.

Sementara untuk region II merupakan Desa yang memiliki Kepala Desa lama adalah Desa Tarowang, Desa Balang Loe Tarowang, Desa Bonto Ujung dan Desa Tino. Desa yang tergabung dalam region II belum dilakukan pelatihan Tim Penyusun RPJMDes sampai dirilisnya postingan ini berhubung mengejar target waktu penyelesaian RPJMDes untuk Desa dengan Kepala Desa baru yang harus selesai dan ditetapkan RPJMDesnya paling lama 3 bulan setelah pelantikan Kepala Desa sesuai aturannya dalam pasal 5 ayat 2 permendagri no.114/2014. Perlakuan untuk Desa dengan kepala Desa lama pun tentu berbeda, pasca pelatihan penguatan kapasitas Tim Penyusunnya nanti hanya melakukan review RPJMDes yang sudah ada.

Di bawah ini dokumentasi lainnya dari simulasi penggunaan 3 instrumen/alat kaji yang digunakan dalam pelatihan penguatan kapasitas Tim Penyusun RPJMDes. Simulasi yang dipandu langsung oleh Tim Tenaga Ahli P3MD Kabupaten Jeneponto dan Pendamping Desa serta Pendamping Lokal Desa Kecamatan Tarowang.









Senin, 04 Januari 2016

Pendampingan Desa, Oleh Sutoro Eko (Guru Desa, Perancang UU Desa)

Pemerintah akan segera memobilisasi fasilitator atau
pendampinguntuk menjalankan pendampingan desa,
sebagai bentuk pelaksanaan amanat Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

TAROWANG - Dalam diskusi para pihak di berbagai ruang dan tempat, pendampingan desa berpijak kepada dua argumen dan tujuan. Pertama, pendampingan desa merupakan tindakan meningkatkan kemampuan desa dalam mengelola pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan, dan kemasyarakatan. Kedua, banyak pihak khawatir dana desa yang diamanatkan UU desa tak efektif dan berpotensi menimbulkan korupsi besar-besaran oleh kepala desa. Karena itu, pendampingan desa merupakan tindakan untuk mengawal efektivitas dan akuntabilitas dana desa.

Kapasitas, efektivitas, dan akuntabilitas harus menjadi perhatian serius dalam pendampingan desa. Tetapi, pengutamaan ketiga aspek itu bisa membuat pendampingan, seperti halnya pemerintahan, pembangunan, dan pemberdayaan, terjebak pada apa yang disebut James Ferguson (1990) sebagai "mesin anti politik".  Dalam The  Anti-Politics Machine: Development, Depoliticization, and Bureaucratic Power in Lesotho,  Ferguson  menunjukkan pembangunan sebagai nilai utama telah gagal membawa kesejahteraan rakyat. Mengapa?

Pembangunan adalah instrumen teknis, proyek dan industri yang anti politik. Di satu sisi, pembangunan adalah instrumen representasi ekonomi dan rekayasa sosial yang mengabaikan representasi politik. Depolitisasi dilakukan dengan mengabaikan realitas dan aspirasi politik, menyingkirkan rakyat dari politik, sekaligus menggiring mereka sibuk dalam dunia sosial dan ekonomi. Di sisi lain pembangunan dirancang canggih oleh teknokrat dan dijalankan oleh birokrat untuk ekspansi kekuasaan birokrasi negara. Dengan demikian, mesin anti politik mengandung depolitisasi (kebijakan, pembangunan dan rakyat) dan ekspansi kontrol birokrasi negara.

Anti politik


Karya Ferguson itu tentu sudah kedaluwarsa, tetapi penting saya angkat sebagai perspektif kritis atas jebakan teknokratis-birokratis dalam pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan, dan juga pendampingan desa. Belajar dari pengalaman pendampingan  program nasional pemberdayaan masyarakat (PNPM) dan proyek-proyek sejenis selama ini, ada sejumlah gejala operasi mesin anti politik.

Pertama, pendampingan merupakan perangkat teknokratik untuk mengamankan uang dalam bentuk bantuan langsung masyarakat (BLM) dan menyukseskan target artifisial yang telah digariskan proyek. Para pendamping mengajarkan hal-hal teknis-administratif proyek kepada orang desa mulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan sampai pelaporan proyek. Lalu masyarakat desa tampil sebagai operator mesin pengelolaan uang dan proyek.

Kedua, pendampingan mengedepankan partisipasi, tetapi mengandung depolitisasi rakyat. Baik pengelolaan proyek maupun pendampingan mengabaikan edukasi politik dan penguatan representasi politik rakyat. Pendamping tak mendidik dan mengorganisasikan rakyat agar berdaya dalam memperjuangkan hak dan kepentingan mereka. Sekalipun ada partisipasi, yang terjadi adalah mobilisasi partisipasi dalam pengelolaan proyek. 

Ketiga, pendampingan digerakkan dan dikendalikan oleh mesin birokrasi dengan petunjuk teknis operasional (PTO). Para pendamping tak hadir sebagai katalisator perubahan, tetapi hanya menjadi mandor proyek yang harus patuh pada PTO sehingga tak tumbuh menjadi wirausaha sosial yang kreatif dan mandiri. Pendampingan tentu telah memberikan kontribusi besar terhadap cerita sukses proyek PNPM, seperti infrastruktur fasilitas publik,  pembesaran dana bergulir, pelembagaan instrumen good governance dalam pengelolaan proyek, peningkatan kemampuan masyarakat dalam pengelolaan proyek, serta kebocoran dana proyek yang mendekati titik nol. Tetapi, kesuksesan itu hanya terbatas pada proyek, tak berdampak besar secara organik dalam tatanan kehidupan desa.

Instrumen good governance hanya dipakai dalam proyek, tetapi tak berdampak dalam pemerintahan desa. Tingkat kebocoran sangat rendah bukan berarti tumbuh kultur anti korupsi, tetapi hanya pertanda keberhasilan mengamankan dana proyek. Terbukti masyarakat sangat gemar politik uang dalam setiap proses elektoral. Peningkatan kemampuan hanya terjadi dalam pengelolaan proyek, tetapi kemampuan desa secara organik dalam mengelola pembangunan tak tumbuh baik. Wirausaha lokal tak tumbuh signifikan. PNPM hanya mampu membangun istana pasir, sekaligus sebagai proyek yang menyenangkan, tetapi tak menolong/berdayakan rakyat.  

Propolitik


Saya berulang kali berdiskusi tentang pendampingan desa dengan Menteri Marwan Jafar maupun tim teknokrat-birokrat di Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi. Kami membangun sebuah pemahaman bahwa pendampingan desa bukan perkara proyek dan teknis-manajerial yang anti politik, tetapi harus mengandung politik. Propolitik bukan dalam pengertian mesin politik, tetapi pendampingan desa harus mengandung jalan ideologis sesuai dengan UU desa, representasi politik,  serta pemberdayaan, dan edukasi politik.

Pertama, Marwan berulang kali menegaskan pendampingan desa jangan terjebak pada proyek, tetapi harus menjadi jalan ideologis memuliakan dan memperkuat desa, termasuk mewujudkan idealisme Nawacita di ranah desa, dengan spirit "Desa Membangun Indonesia".  Kami menjabarkan gagasan ini dengan menegaskan bahwa pendampingan desa bukan sekadar berurusan dengan kapasitas dan efektivitas, tetapi hendak mempromosikan desa sebagai "masyarakat berpemerintahan" (self governing community) yang maju, kuat, mandiri, dan demokratis. 

Kedua, pendampingan merupakan jalan perubahan yang mengandung repolitisasi rakyat. Repolitisasi ini bukan membuat rakyat menjadi mesin politik atau mobilisasi partisipasi, tetapi memperkuat representasi politik rakyat agar punya kesadaran kritis dalam dunia politik dan berdaulat dalam hak dan kepentingan mereka. Salah satu indikator kesadaran kritis adalah tumbuhnya sikap dan tindakan orang desa menolak (anti) politik uang.

Ketiga, pendampingan tak ditempuh dengan pembinaan (power over) melainkan pemberdayaan (empowerment).  Pembinaan adalah pendekatan dari atas yang menumbuhkan mentalitas memerintah, kontrol, dan ekspansi birokrasi terhadap desa dan masyarakat. Sedangkan pemberdayaan adalah pendekatan untuk memperkuat desa dan rakyat secara sosial, budaya, ekonomi, politik.

Keempat, setiap aktivitas desa (musyawarah desa, perencanaan dan penganggaran, pemilihan kepala desa, dan sebagainya), yang memperoleh sentuhan pendampingan, tak boleh terjebak pada penggunaan alat dan menghasilkan dokumen semata tanpa ada sentuhan filosofis (roh). Pendampingan terhadap seluruh aktivitas desa harus disertai edukasi sosial dan politik secara inklusif dan partisipatoris. Dalam perencanaan desa, misalnya tak hanya berhenti pada penyusunan dokumen perencanaan yang akan dijabarkan jadi agenda proyek.

Di balik perencanaan desa ada pembelajaran bagi orang desa membangun impian kolektif dan mandiri mengambil keputusan politik. Demikian juga sistem informasi desa (SID) yang kaya data, aplikasi dan disertai jaringanonline. SID tak hanya alat dan teknologi. Di balik SID ada pembelajaran bagi orang desa untuk membangun kesadaran kritis terhadap diri mereka sendiri sekaligus memperkuat representasi hak dan kepentingan rakyat.


SUTORO EKO GURU DESA, PERANCANG UU DESA


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 Juli 2015, di halaman 7 dengan judul "Pendampingan Desa".


Sumber : bitra.or.id